Diriwayatkan dari Syuraih bin Ubaid al-Hadhrami dan lain-lain berkata, "Iyadh bin Ghanim menjatuhkan hukum dera kepada salah seorang penduduk kampung yang baru dikuasai. Lalu Hisyam bin Hikam melontarkan kritik pedas yang membangkitkan kemarahan Iyadh. Setelah berlalu beberapa hari, Hisyam mendatangi Iyadh dan meminta maaf seraya berkata kepada Iyadh, "Tidakkah Anda mendengar bahwa Nabi saw. pernah bersabda, 'Sesungguhnya orang yang paling banyak menyiksa manusia adalah orang yang paling berat siksaannya di akhirat kelak'," Iyadh bin Ghanim berkata, 'Ya Hisyam, kami pernah mendengar apa yang kamu dengar dan kami telah melihat apa yang Anda lihat, lantas apakah Anda pernah mendengar bahwa Rasulullah saw. bersabda, 'Barangsiapa ingin menasehati seorang penguasa dalam suatu urusan maka janganlah ia lakukan dengan cara terang-terangan, tetapi pergilah ia dan bicaralah empat mata. Jika ia terima (alhamdulillah) dan jika tidak berarti engkau telah melaksanakan kewajibanmu.' Sesungguhnya engkau ya Hisyam terlalu berani jika engkau berani menentang penguasa yang diangkat Allah. Tidakkah engkau khawatir dibunuh oleh penguasa, yang berarti kamu sebagai korban pembunuhan yang dilakukan oleh penguasa Allah Tabaraka Wata'ala'," (Shahih, HR Ahmad [III/403]).
مَنْ
أَرَادَ أَنْ يَنْصَحَ لِسُلْطَانٍ بِأَمْرٍ، فَلَا يُبْدِ لَهُ
عَلَانِيَةً، وَلَكِنْ لِيَأْخُذْ بِيَدِهِ، فَيَخْلُوَ بِهِ، فَإِنْ
قَبِلَ مِنْهُ فَذَاكَ، وَإِلَّا كَانَ قَدْ أَدَّى الَّذِي عَلَيْهِ
لَهُ“
Barangsiapa hendak menasehati penguasa dengan suatu hal maka janganlah dia menampakkannya terang-terangan, melainkan hendaklah dia raih tangan penguasa itu lalu berduaan dengannya. Kalau dia menerima nasehat itu maka baguslah, tapi kalau tidak berarti dia sudah melaksanakan kewajibannya kepada penguasa.”
Hadits Dha'if (Lemah)
Hadits di atas diriwayatkan dari dua jalur menuju Iyadh bin Ghanm:
1. Jalur Syuraih bin Ubaid, dari Iyadh bin Ghanm.
2. Jalur Jubair bin Nufair dari Iyadh bin Ghanm.
Jalur Syuraih langsung ke Iyadh diriwayatkan oleh Ahmad dalam musnadnya, Ibnu Abi ‘Ashim dalam As-Sunnah, Abu Ubaid dalam Al-Amwal, semua dari jalur Shafwan bin Amr, dari Syuraih bin Ubaid.
Isnadnya shahih sampai kepada Syuraih, tapi ada kelemahan yaitu terputusnya sanad antara Syuraih dengan Iyadh bin Ghanm. Sebagian orang ada yang mengatakan mungkin saja Syuraih mendengar dari Iyadh atau Hisyam, tapi ini akan terbantahkan bila kita melihat beberapa fakta berikut:
Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam At-Taqrib mengatakan, “Dia banyak memursal hadits.”
Muhammad bin Auf pernah ditanya apakah Syuraih ini pernah mendengar dari seorang sahabat Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam? Dia menjawab, “Kurasa tidak. Itu karena dia tidak pernah mengatakan, “aku mendengar” padahal dia tsiqah.”[Lihat Tahdzib Al-Kamal 12/447.]
Sementara Abu Hatim Ar-Razi memastikan bahwa dia tidak mendapati masa Abu Umamah, Al Harits bin Harits dan Miqdam dan riwayatnya dari Abu Malik Al-Asy’ari adalah mursal.[Al-Marasil oleh Ibnu Abi Hatim 1/90.]
Abu Daud mengatakan, “Dia (Syuraih) tidak mendapati masa Sa’d bin Malik.”[Tahdzib Al-Kamal 12/447]
Al-Mizzi juga menyatakan bahwa dia tidak mendapati masa Abu Dzar Al-Ghifari. Menurut Ibnu Hajar dalam Al-Ishabah (7/29) Abu Dzar wafat tahun 31 H.
Iyadh bin Ghanm meninggal pada tahun 20 H (Ibnu Hajar dalam Al-Ishabah dalam biografi Iyadh bin Ghanm 4/757.), sedangkan Syuraih ini tidak mendengar dari Abu Umamah (w 86 H), Al Miqdam (w 87 H). Kalau yang wafat pada tahun 80-an saja dia tidak mendapati apalagi yang wafat tahun 20 H?! Jangan-jangan Syuraih belum lagi lahir waktu Iyadh bin Ghanm meninggal dunia.
Jalur kedua dari Jubair bin Nufair ke Iyadh bin Ghanm.
Ada dua jalur sampai ke Jubair bin Nufair:
Jalur pertama adalah jalur Syuraih bin Ubaid; diriwayatkan oleh Dhamdham bin Zur’ah. Ini terdapat dalam kitab As-Sunnah karya Ibnu Abi ’Ashim no. 1097.
Riwayat ini sangat lemah karena dua faktor:
Pertama, faktor Muhammad bin Ismail bin Ayyasy, dia ini lemah apalagi berani meriwayatkan dari ayahnya tanpa mendengar langsung dari ayahnya dan inilah yang menyebabkan dia dilemahkan. Abu Hatim mengatakan, “Orang-orang memprovokasinya untuk meriwayatkan dari ayahnya tanpa mendengar langsung lalu dia melakukannya.” (Al Jarh wa At-Ta’dil 7/190). Sementara Al-Hafizh Ibnu Hajar mengatakan dalam At-Taqrib (2/37, no. 6430): “Mereka mencelanya gara-gara berani meriwayatkan dari ayahnya tanpa mendengar langsung.” Bahkan Al-Albani mengatakan dalam Zhilal Al-Jannah, “Perkatannya ‘ayahku menceritakan kepadaku’ seperti itu adalah dusta”. Aneh kalau kemudian Al-Albani masih menguatkannya dengan riwayat yang lain padahal Muhammad bin Ismail ini melakukan kesalahan fatal yaitu berdusta.
Dalam kitab Al-Ishabah 4/510 ketika menyebut biografi ‘Athiyyah bin ‘Amir, Al-Hafizh Ibnu Hajar sempat menyebut riwayatnya lalu melemahkannya dengan menyatakan, ”Tapi Muhammad (bin Ismail ini –penerj) dha’if jiddan (sangat lemah).”
Kedua, perbedaan Dhamdham bin Zur’ah dengan riwayat Shafwan bin Amr. Shafwan ini tsiqah, sementara Dhamdham bin Zur’ah dikatakan oleh Al-Hafizh dalam At-Taqrib (1/298, no. 3306) (صَدوق يَهِم) (jujur tapi salah). Bisa jadi riwayat ini adalah salah satu bentuk kesalahannya andai lolos dari kelemahan Muhammad bin Ismail. Riwayat semacam ini adalah syadz dan tidak bisa dianggap menguatkan riwayat Shafwan, justru riwayat Shafwan melemahkannya.
Muhammad bin Ismail bin Ayyasy dikuatkan oleh Abdul Wahhab sebagaimana disebutkan dalam Abu Nu’aim dalam Ma’rifatus Shahabah dalam biografi Iyadh bin Ghanm (4/2162, nomor riwayat: 5425):
حَدَّثَنَا
مُحَمَّدُ بْنُ عَلِيٍّ، ثنا الْحُسَيْنُ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ حَمَّادٍ،
ثنا عَبْدُ الْوَهَّابِ بْنُ الضَّحَّاكِ، ثنا إِسْمَاعِيلُ بْنُ عَيَّاشٍ،
عَنْ ضَمْضَمِ بْنِ زُرْعَةَ، عَنْ شُرَيْحِ بْنِ عُبَيْدٍ، قَالَ: قَالَ
جُبَيْرُ بْنُ نُفَيْرٍ
Muhammad bin Ali menceritakan kepada kami, Al-Husaian bin Muhammad bin Hammad menceritakan kepada kami, Abdul Wahhab bin Adh-Dhahhak menceritakan kepada kami, Ismail bin Ayyasy menceritakan kepada kami, dari Dhamdham bin Zur’ah, dari Syuraih bin Ubaid, dia berkata, Jubair bin Nufair berkata....”
Tapi penguat ini tidak berarti sebab Abdul Wahhab bin Adh-Dhahhak disebutkan dalam At-Taqrib (1/418, no. 4772), ”matruk, dianggap pendusta oleh Abu Hatim.” Lihat pula penjelasan kedustaannya dalam Al-Jarh wa At-Ta’dil 6/74.
Jalur kedua adalah jalur Abdurrahman bin ’A`idz yang diriwayatkan oleh Ishaq bin Ibrahim bin Al ’Ala`, Amr bin Al Harits menceritakan kepada kami, dari Abdullah bin Salim, dari Az-Zubaidi, Fudhail bin Fadhalah menceritakan kepadaku, dia mengembalikannya kepada Ibnu ’A`idz, dia mengembalikannya kepada Jubair bin Nufair.
Jalur kedua ini punya penguat yaitu riwayat Ibrahim bin Abdul Hamid Al Himshi yang berkata, Abdullah bin Salim menceritakan kepada kami, selanjutnya sama dengan isnad Amr bin Harits di atas.
Akan tetapi riwayat Ibrahim bin Abdul Hamid bin Ibrahim ini sama sekali tidak berguna dan ini akan jelas bila kita baca biografinya dalam kitab Al-Jarh wa At-Ta’dil karya Ibnu Abi Hatim juz 6 hal. 8 berikut ini:
Abdul Hamid bin Ibrahim Al-Hadhrami Al-Himshi Abu Taqi meriwayatkan dari Abdullah bin Salim, murid Muhammad bin Al-Walid Az-Zubaidi. Yang meriwayatkan darinya adalah Muhammad bin Auf. Abdurrahman berkata, Aku bertanya kepada Muhammad bin Auf Al Himshi tentangnya maka dia menjawab, ”Dia adalah seorang syekh (orang tua) yang buta tidak hafal, kami pernah menulis dari tulisannya yang ada pada Ishaq bin Zibriq yang merupakan riwayat Ibnu Salim lalu kami bawakan kepadanya dan mendiktenya. Dia tidak hafal isnad tapi hafal beberapa matan maka dia ceritakan kepada kami. Kami meriwayatkan darinya hanya lantaran keinginan memperbanyak riwayat hadits.”
Muhammad bin Auf sendiri kalau menceritakan darinya maka dia menyebut, ”Aku dapatkan dalam kitab Ibnu Salim yang diceritakan kepada kami oleh Abu Taqi.”
Abdurrahman menceritakan kepada kami, dia berkata, Aku mendengar ayahku menyebutkan kepadaku tentang Abu Taqi Abdul Hamid bin Ibrahim,Dia berada pada suatu kampung di daerah Himsh, aku tidak keluar menemuinya dia juga menyebutkan bahwa dia mendengar kitab Abdullah bin Salim dari Az-Zubaidi hanya saja buku-bukunya hilang lalu dia katakan bahwa dia tidak menghafalnya. Mereka ingin mendengar riwayat itu darinya tapi dia mengatakan, ”Aku tidak hafal”, tapi mereka terus saja mendesak sampai dia melemah. Kemudian aku datang ke Himsh setealah peristiwa itu lebih dari tiga puluh tahun ternyata orang-orang sudah meriwayatkan kitab itu darinya dan mereka katakan bahwa mereka menalqini riwayat Ibnu Zibriq kepadanya lalu dia pun meriwayatkan hasil talqinan itu. Dia menurutku bukan apa-apa, tidak hafal dan tidak punya kitab”.”
Dengan begitu maka riwayat Abdul Hamid bin Ibrahim Al Himshi ini sebenarnya adalah hasil talqinan dari kitabnya Ishaq bin Ibrahim bin Zibriq. Inilah yang disimpulkan oleh Syekh Abu Marwan As-Sudani dalam kitabnya, “
Maka, gugurlah riwayat Abdul Hamid bin Ibrahim dan tidak bisa menguatkan riwayat Amr bin Harits. Demikian yang disimpulkan oleh Syekh Abu Marwan As-Sudani dalam kitabnya, “Al-Jahr wa Al-I’lan fii Dha’fi Hadits Al-Kitman fii Munashahati As-Sulthaan”.
Kelemahan jalur-jalur ini:
Jalur Syuraih Al-Qadhi adalah munqathi’ tidak bisa dikatakan dikuatkan dengan jalur Muhammad bin Ismail bin Ayyasy yang menyambungnya dengan memasukkan nama Jubair bin Nufair antara Syuraih dan Iyadh, sebab andai dia selamat dari kelemahan Muhammad bin Ayyasy maka justru itu melemahkan jalur ini karena riwayat yang bersambung itu melalui jalur Dhamdham bin Zur’ah yang mendapat predikat shaduq yahim (jujur tapi biasa ragu atau salah). Sementara riwayat yang terputus bersumber dari Shafwan bin Amr As-Saksaki dan dia tsiqah. Dengan demikian riwayat Dhamdham ini kalah karena dia menyelisihi orang yang lebih kuat darinya. Sehingga yang benar dalam riwayat jalur Syuraih Al-Qadhi adalah munqathi’ atau terputus dan ini lemah tak bisa dijadikan hujjah.
Sementara jalur Ibnu ‘A`idz dari Jubair bin Nufair juga sangat lemah, karena setelah diamati bahwa riwayat itu sebenarnya hanya bermuara dari satu orang yaitu Ishaq bin Ibrahim bin Al ‘Ala` Ibnu Zibriq Al-Himshi.
Penilaian para ulama berbeda-beda mengenai Ibnu Zibriq ini, umumnya menganggap lemah, bahkan Muhammad bin Auf memastikan bahwa dia berdusta dan ini jarh yang mufassar. Sehingga yang paling mendekati kebenaran tentang penilaian terhadapnya adalah penilaian Adz-Dzahabi dalam Talkhish Al Mustadrak dengan predikat “waah” (sangat lemah), atau penilaian An-Nasa`iy, “laisa bi tsiqah” (tidak tsiqah) dan itu berarti haditsnya sangat lemah. Al-Albani sendiri dalam beberapa tempat di kitab As-Silsilah Al-Ahadits Adh-Dha’ifah menyatakan bahwa Ishaq bin Ibrahim bin Ala` Ibnu Zibriq ini sebagai dhaif jiddan (sangat lemah).Misalnya dalam hadits no. 758, Al-Albani mengatakan pendapatnya tentang Ishaq bin Ibrahim ini:
وأبوه إسحاق بن
إبراهيم بن زبريق ضعيف جدا ، قال النسائي : " ليس بثقة " . وقال أبو داود :
" ليس بشيء " وكذبه محدث حمص محمد بن عوف الطائي وهو أعرف بأهل بلده ،
وأماأبو حاتم فقال : لا بأس به.
“Dan ayahnya (ayah Amr) yaitu Ishaq bin Ibrahim bin Zibriq adalah dhaif jiddan. An-Nasa`iy mengatakannya, tidak tsiqah, Abu Daud mengatakannya, “Bukan apa-apa”, bahkan muhaddits daerah Hims yaitu Muhammad bin Auf Ath-Tha`iy yang merupakan orang yang paling tahu tentang penduduk negerinya sendiri menganggapnya pendusta. Sedangkan Abu Hatim mengatakan, “Tidak ada masalah padanya”.
Itu belum lagi ditambah adanya kelemahan pada Amr bin Al-Harits yang dikatakan oleh Adz-Dzahabi “Tidak terkenal keadilannya (dalam riwayat)”, itu menunjukkan dia majhul haal. Meskipun Ibnu Hibban menyatakan dalam ats-Tsiqaat dia mustaqimul hadits, tapi kalau kita telusuri banyak hadits-haditsnya yang diriwayatkan dari Ishaq bin Ibrahim adalah munkar sebagaimana saya bahas dalam forum ahli hadits di atas.
Jadi, jalur yang menyebutkan adanya Jubair bin Nufair semuanya adalah dhaif jiddan dan tidak bisa dipakai. Tinggal lagi jalur Syuraih bin Ubaid yang lemah karena ada keterputusan sanad antara dia dengan Iyadh bin Ghanm. Dengan begitu hadits ini tidak cukup kuat sebagai hujjah, apalagi tambahan ini tidak disebutkan dalam riwayat yang shahih dari Urwah bin Az-Zubair yang diriwayatkan oleh Muslim, semakin menunjukkan kelemahan tambahan tersebut.
Belum lagi perbuatan Hisyam bin Hakim menegur Iyadh bin Ghanm pada saat Iyadh melakukan kemungkaran dan itu harus segera dicegah sebelum Iyadh makin tenggelam dalam kesalahannya, atau jatuh korban dari orang yang disiksa oleh Iyadh tersebut. Hal itu pula yang dilakukan para sahabat yang lain ketika menegur kesalahan pemimpin seperti yang dilakukan Abu Sa’id Al-Khudri terhadap Marwan yang berkhutbah sambil duduk. Khusus untuk masalah mengingkari kemungkaran yang dilakukan penguasa apakah sama sekali tidak boleh terang-terangan insya Allah akan kami bahas belakangan
Mengkatagerorikan Pemimpin
Imam secara harfiah (bahasa) menurut Imam al-Lughah al-Fairus Abadi dalam Qamus al-Muhiith :
الإمامة في اللغة مصدر من الفعل ( أمَّ ) تقول : ( أمَّهم وأمَّ بهم : تقدّمَهم ، وهي الإمامة ، والإمام : كل ما ائتم به من رئيس أو غيره ) ….
“Secara bahasa imamah merupakan masdar dari kata kerja “amma”, (maka) anda menyatakan: ammahum dan amma bihim artinya adalah taqaddamahum (yang mendahului (memimpin) mereka; yakni, imamah (kepemimpinan). Sedangkan imam adalah setiap orang yang harus diikuti baik pemimpin maupun yang lain”.[al-Fairuz Abadi, al-Qaamus al-Muhith, juz IV hal 78]
Sedangkan secara makna syar'i (etimologi) arti Imam menurut Imam Al Mawardi dari kalangan Asy-Syafi’i berarti :
( الإمامة موضوعة لخلافة النبوة في حراسة الدين وسياسة الدنيا به ) أ . هـ ….
“Imamah itu menduduki posisi untuk khilafah nubuwwah dalam menjaga agama serta politik yang sifatnya duniawi”.[Imam Al Mawardi, Ali bin Muhammad, Al-Ahkaam Al Sulthaniyyah, hal 5]
Pemimpin (Imam) terbagi menjadi 2 :
1. Pemimpin yang menerapkan hukum Allah (baca:Syari'ah)
2. Pemimpin yang menerapkan hukum selain Allah (baca:Thagut)
Pemimpin yang menerapkan hukum Islam di sebut dengan Imam, Khalifah, atau sulthan. Dalam hal ini Imam Al Hafidz Al Nawawi menyatakan :
( يجوز أن يقال للإمام : الخليفة ، والإمام ، وأمير المؤمنين )…
“Imam boleh juga disebut dengan khalifah, imam atau amirul Mukminin”. [Syeikhul Islam Imam Al Hafidz Yahya bin Syaraf An Nawawi, Raudhah Ath Thalibin wa Umdah Al Muftiin, juz X hal 49; Syeikh Khatib Asy Syarbini, Mughnil Muhtaj, juz IV, hal 132]
Sedangkan Pemimpin yang menerapkan hukum Thagut itu bukanlah pemimpin kaum muslimin. Presiden, Raja atau pemimpin lainnya yang tidak menerapkan hukum Islam atau menerapkan hukum Islam secara parsial bukanlah di sebut sebagai pemimpin kaum muslimin, mereka di sebut Amrul Kufr atau Imamul Zhalimun (Pemimpin Kufur atau Pemimpin Zhalim) sebagaimana yan telah di firmakan oleh Allah swt :
“Barangsiapa yang tidak menghukumi dengan apa yang diturunkan Allah, maka mereka adalah orang-orang kafir.” (Qs. al-Maa’idah [5]: 44).
“Barangsiapa yang tidak menghukumi dengan apa yang diturunkan Allah, maka mereka adalah orang-orang zhalim.” (Qs. al-Maa’idah [5]: 45).
“Barangsiapa yang tidak menghukumi dengan apa yang diturunkan Allah, maka mereka adalah orang-orang fasik.” (Qs. al-Maa’idah [5]: 47).
Kata "و مَنْ" dalam ayat diatas menunjukkan keumuman ('amm), jadi pemimpin yang tidak menerapkan hukum Islam terkategorikan ayat di atas.
Dalam ayat lain Allah pun mengancam bagi mereka yang mengikuti pemimpin yang zhalim, Allah swt berfirman :
“Pada hari (ketika) wajah mereka dibolak-balikkan dalam neraka, mereka berkata: “Wahai, kiranya dahulu kami taat kepada Allah dan taat (pula) kepada Rasul.” Dan mereka berkata: Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami telah mentaati para pemimpin dan para pembesar kami, lalu mereka menyesatkan kami dari jalan (yang benar). Ya Tuhan kami, timpakanlah kepada mereka azab dua kali lipat dan laknatlah mereka dengan laknat yang besar.” [Qs. Al Ahzab : 66-68]
Bahkan Allah swt berfirman :
“Maka demi Rabb-mu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan engkau hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang engkau berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (Qs. an-Nisaa’ [4]: 65).
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian ambil menjadi teman dekatmu orang-orang yang di luar kalanganmu (tidak beriman kepada apa yang diturunkan Allah).” (Qs. Ali-Imran [3]: 118).
Jama'ah Salafy yang mengklaim mengikuti manhaj salafush shaleh mewajibkan kepada jama'ahnya untuk mengikuti 'Ulama-'Ulama Salaf, oleh sebab itu lah admin menegaskan bahwa itu memang benar! Wajib kita mengikuti manhaj salaf ( generasi terdahulu ) berdasarkan dalil yang sering mereka pakai :
Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam surah At-Taubah ayat 100:
وَالسَّابِقُونَ
الْأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ وَالَّذِينَ
اتَّبَعُوهُمْ بِإِحْسَانٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ
وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ
فِيهَا أَبَدًا ذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ
“Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari orang-orang Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di bawahnya, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar.”
فَإِنْ
ءَامَنُوا بِمِثْلِ مَا ءَامَنْتُمْ بِهِ فَقَدِ اهْتَدَوْا وَإِنْ
تَوَلَّوْا فَإِنَّمَا هُمْ فِي شِقَاقٍ فَسَيَكْفِيكَهُمُ اللَّهُ وَهُوَ
السَّمِيعُ الْعَلِيمُ
“Maka jika mereka beriman seperti apa yang kalian telah beriman kepadanya, sungguh mereka telah mendapat petunjuk; dan jika mereka berpaling, sesungguhnya mereka berada dalam permusuhan (dengan kamu). Maka Allah akan memelihara kalian dari mereka. Dan Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-Baqorah: 137)
Berkata Ibnu Katsir rahimahullah menafsir ayat ini dalam tafsir beliau yang terkenal: “{Maka jika mereka beriman} yaitu orang-orang kafir dari Ahlul Kitab dan selain mereka {seperti apa yang kalian telah beriman kepadanya} wahai kaum mu’minin dengan keimanan kepada seluruh kitab Allah dan Rasul-Nya tanpa membedakan seorangpun dari mereka {sungguh mereka telah mendapat petunjuk} yakni mereka telah tepat diatas kebenaran dan mendapatkan petunjuk kepadanya.”
Bahkan Allah ‘Azza Dzikruhu mengancam orang-orang yang menyelisihi jalan para salaf dalam firman-Nya:
وَمَنْ
يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى
وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى
وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيرًا
“Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mu’min, Kami biarkan ia larut dalam kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (QS. An-Nisa: 115)
Berkata Ibnul Qoyyim Al-Jauzy: “Sisi pendalilan dari ayat ini: bahwa ayat ini menjadikan penyelisihan jalan kaum Mu’minin sebagai sebab larutnya di jalan kesesatan dan masuknya ke dalam Jahannam, sebagaimana (ayat ini) juga menunjukkan bahwa mengikuti jalan Ar-Rasul shollallahu ‘alahi wa alihi wa sallam merupakan bagian dari pokok Islam yang agung yang memberikan konsekwensi harus dan wajibnya menempuh jalan kaum Mu’minin lagi wajibnya. Adapun jalan kaum Mu’minin adalah perkataan dan perbuatan para shahabat radhiyallahu ‘anhum, ini ditunjukkan oleh firman-Nya Ta’ala:
آمَنَ الرَّسُولُ بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْهِ مِنْ رَبِّهِ وَالْمُؤْمِنُونَ
“Rasul telah beriman kepada Al Qur’an yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya, demikian pula orang-orang yang beriman.” (QS.Al-Baqorah: 285).
Dan kaum mu’minin waktu itu adalah para shahabat”. Demikian perkataan Ibnul Qoyyim dinukil dengan perantaraan kitab Bashoir dzawi Asy-Syaraf
Dalam hadits ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, Nabi shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam bersabda:
خَيْرُ النَاسِ قَرْنِي ثُمَّ الذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ ثُمَّ الذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ
“Sebaik-baik manusia adalah zamanku kemudian zaman setelahnya kemudian zaman setelahnya.” (Dikeluarkan oleh Imam Bukhory (2652), Muslim (2533/211), dan lain-lainnya. Dan hadits ini adalah hadits yang mutawatir).
Hadits ini sangat tegas sekali menunjukkan keutamaan tiga generasi pertama dari umat ini yaitu generasi As-Salaf Ash-Sholih bahwa mereka adalah sebaik-baik generasi yang pernah lahir dari umat ini. Dan Al-Khairiyah (kebaikan) yang terdapat pada mereka ada pada semua sisi kebaikan dalam agama. Maka merekalah yang terbaik jalannya, paling dalam ilmunya, paling lurus pemahamannya, paling sedikit salahnya dan yang paling mulia di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dan ini menunjukkan wajibnya mengikuti jalan para ulama Salaf rahimahullah.
Oleh sebab itulah kami mencoba meluruskan dan menjelaskan bagaimana dahulu para Sahabat dan 'Ulama-'Ulama Salaf ketika menasehati penguasa. Inilah manhaj Salaf!
1. Khalifah Umar bin Al Khathab Radhiallahu ‘Anhu
Ketika Umar bin Al Khathab Radhiallahu ‘Anhu menyampaikan khutbah di atas mimbar, dia menyampaikan bahwa Umar hendak membatasi Mahar sebanyak 400 Dirham, sebab nilai itulah yang dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, jika ada yang lebih dari itu maka selebihnya dimasukkan ke dalam kas negara. Hal ini diprotes langsung oleh seorang wanita, di depan manusia saat itu, dengan perkataannya: “Wahai Amirul mu’minin, engkau melarang mahar buat wanita melebihi 400 Dirham?” Umar menjawab: “Benar.” Wanita itu berkata: “Apakah kau tidak mendengar firman Allah:
“ .... sedang kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, Maka janganlah kamu mengambil kembali dari padanya barang sedikitpun. Apakah kamu akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang Dusta dan dengan (menanggung) dosa yang nyata ?.” (QS. An Nisa (4): 20)
Umar menjawab; “Ya Allah ampunilah, semua manusia lebih tahu dibanding Umar.” Maka umar pun meralat keputusannya. (Tafsir Al Quran Al ‘Azhim, 2/244. Imam Ibnu katsir mengatakan: sanadnya jayyid qawi (baik lagi kuat). Sementara Syaikh Abu Ishaq Al Huwaini menyatakan hasan li ghairih)
Inilah Umar bin Al Khathab. Beliau menerima kritikan terbuka wanita tersebut, dengan jiwa besar dia mengakui kesalahannya, serta tidak mengatakan: “Engkau benar, tapi caramu menasihatiku salah, seharusnya engkau nasihatiku secara diam-diam, tidak terang-terangan!” Tidak. Umar tidak sama sekali mengingkari cara wanita itu menasihatinya di depan banyak manusia. Bukan hanya itu, para sahabat yang melihatnya pun tidak pula mengingkari wanita tersebut. Jikalau wanita itu salah dalam penyampaiannya, maka tentunya serentak dia akan diingkari oleh banyak manusia saat itu. Faktanya tidak ada pengingkaran itu. Ini disebabkan karena keputusan khalifah Umar, akan membawa dampak bagi rakyatnya, maka meralatnya pun dilakukan secara terbuka.
Metode ini juga dijalankan oleh para tabi’in serta generasi selanjutnya. Hal ini terekam dalam kitab-kitab para ulama. Jika, mereka menasihati pemimpin secara empat mata dan sembunyi-sembunyi, tentunya dari mana manusia bisa tahu peristiwa-peristiwa ini? Jika ada manusia meriwayatkan Imam Fulan telah menasehati khalifah, atau gubernur, maka ini sudah tidak bisa disebut diam-diam atau empat mata, sebab ada orang lain yang mendengarkan atau melihat, lalu orang tersebut meriwayatkan ke generasi selanjutnya hingga ke tangan kita.
Imam Ibnu Khaldun juga mengatakan tidak boleh dikatakan ‘memberontak’ bagi orang yang melakukan perlawanan terhadap pemimpin yang fasiq. Beliau memberikan contoh perlawanan Al Husein terhadap Yazid, yang oleh Ibnu Khaldun disebut sebagai pemimpin yang fasiq. Apa yang dilakukan oleh Al Husein adalah benar, ijtihadnya benar, dan kematiannya adalah syahid. Tidak boleh dia disebut bughat (memberontak/makar) sebab istilah memberontak hanya ada jika melawan pemimpin yang adil. (Muqaddimah, Hal. 113)
( TAKBIR ! )
Berikutnya, ini adalah beberapa contoh para Imam kaum muslimin.
2. Sa’id bin Jubeir Radhiallahu ‘Anhu terhadap Al Hajjaj bin Yusuf Ats Tsaqafi
Tentang kecaman keras Said bin Jubeir Radhiallahu ‘Anhu terhadap gubernur zalim di Madinah, sangat terkenal. Beliau berkata tentang Hajjaj bin Yusuf dan pasukannya, sebagai berikut:
عن
أبي اليقظان قال: كان سعيد بن جبير يقول يوم دير الجماجم وهم يقاتلون:
قاتلوهم على جورهم في الحكم وخروجهم من الدين وتجبرهم على عباد الله
وإماتتهم الصلاة واستذلالهم المسلمين. فلما انهزم أهل دير الجماجم لحق سعيد
بن جبير بمكة فأخذه خالد بن عبد الله فحمله إلى الحجاج مع إسماعيل بن أوسط
البجلي
“Dari Abu Al Yaqzhan, dia berkata: Said bin Jubeir pernah berkata ketika hari Dir Al Jamajim, saat itu dia sedang berperang (melawan pasukan Hajjaj): “Perangilah mereka karena kezaliman mereka dalam menjalankan pemerintahan, keluarnya mereka dari agama, kesombongan mereka terhadap hamba-hamba Allah, mereka mematikan shalat dan merendahkan kaum muslimin.” Ketika penduduk Dir Al Jamajim kalah, Said bin Jubeir melarikan diri ke Mekkah. Kemudian dia dijemput oleh Khalid bin Abdullah, lalu dbawanya kepada Hajjaj bersama Ismail bin Awsath Al Bajali.” (Imam Muhammad bin Sa’ad, Thabaqat Al Kubra, 6/265. Dar Al Mashadir, Beirut)
Demikianlah salah satu kecaman keras terhadap pemimpin Madinah, oleh seorang ulama fiqih dan tafsir, salah satu murid terbaik Abdullah bin Abbas Radhiallahu ‘Anhuma, yakni Al Imam Sa’id bin Jubeir Rahiallahu ‘Anhu. Dia adalah imamnya para imam pada zamannya, dan manusia paling ‘alim saat itu. Dia tidak mengatakan: “Aku akan pergi ke Hajjaj dan akan menasihatinya empat mata!” Tidak, dan tak satu pun ulama saat itu dan setelahnya, menjulukinya khawarij.
Tentang Imam Sa’id bin Jubeir, berkata Abdussalam bin Harb, dari Khushaif, katanya:
كان
أعلمهم بالقرآن مجاهد، وأعلمهم بالحج عطاء، وأعلمهم بالحلال والحرام
طاووس، وأعلمهم بالطلاق سعيد بن المسيب، وأجمعهم لهذه العلوم سعيد بن جبير
“Yang paling tahu tentang Al Quran adalah Mujahid, yang paling tahu tentang Haji adalah ‘Atha, yang paling tahu tentang halal dan haram adalah Thawus, yang paling tahu tentang thalaq adalah Sa’id bin Al Musayyib, dan yang mampu mengkombinasikan semua ilmu-ilmu ini adalah Sa’id bin Jubeir.” (Imam Adz Dzahabi, Siyar A’lam An Nubala, 4/341. Muasasah Ar Risalah, Beirut)
Sementara Ali Al Madini berkata:
ليس في أصحاب ابن عباس مثل سعيد بن جبير. قيل: ولا طاووس ؟ قال: ولا طاووس ولا أحد.
“Di antara sahabat-sahabat Ibnu Abbas tidak ada yang seperti Sa’id bin Jubeir.” Ada yang berkata: “Tidak pula Thawus?” Ali Al Madini menjawab: “Tidak pula Thawus, dan tidak pula yang lainnya.” (Ibid)
Imam Amr Asy Sya’bi Radhiallahu ‘Anhu terhadap Al Hajjaj bin Yusuf Ats Tsaqafi
Beliau sezaman dengan Sa’id bin Jubeir, dan juga berhadapan dengan Hajjaj bin Yusuf Ats Tsaqafi, hanya saja dia tidak sampai melakukan perlawanan fisik.
Imam Adz Dzahabi juga menceritakan, bahwa Imam Amr Asy Sya’bi telah mengkritik penguasa zalim, Hajjaj bin Yusuf dan membeberkan aibnya di depan banyak manusia. Dari Mujalid, bahwa Asy Sya’bi berkata:
فأتاني
قراء أهل الكوفة، فقالوا: يا أبا عمرو، إنك زعيم القراء، فلم يزالوا حتى
خرجت معهم، فقمت بين الصفين أذكر الحجاج وأعيبه بأشياء، فبلغني أنه قال:
ألا تعجبون من هذا الخبيث ! أما لئن أمكنني الله منه، لاجعلن الدنيا عليه
أضيق من مسك جمل
“Maka, para Qurra’ dari Kufah datang menemuiku. Mereka berkata: “Wahai Abu Amr, Anda adalah pemimpin para Qurra’.” Mereka senantiasa merayuku hingga aku keluar bersama mereka. Saat itu, aku berdiri di antara dua barisan (yang bertikai). Aku menyebutkan Al Hajaj dan aib-aib yang telah dilakukannya.” Maka sampai kepadaku (Mujalid), bahwa dia berkata: “Tidakkah kalian heran dengan keburukan ini?! Ada pun aku, kalaulah Allah mengizinkan mengalahkan mereka, niscaya dunia ini akan aku lipat lebih kecil dari kulit Unta membungkusnya.” (Ibid, 4/304)
Demikianlah Imam Amr Asy Sya’bi. Beliau mengkritik Al Hajjaj secara terang-terangan, di antara dua pasukan yang bertikai. Dia tidak mengatakan: “Aku akan temui Al hajjaj secara empat mata, lalu aku akan beberkan aib-aibnya dan menasihati dia secara sembunyi.” Tidak demikian.
Siapakah Imam Amr Asy Sya’bi? Dia adalah Imam Fiqih dan hadits pada masa tabi’in. Banyak sanjungan manusia kepadanya. Berkata Abu Usamah:
كان
عمر في زمانه رأس الناس وهو جامع، وكان بعده ابن عباس في زمانه، وكان بعده
الشعبي في زمانه، وكان بعده الثوري في زمانه، ثم كان بعده يحيى بن آدم
“Umar bin Al Khathab adalah pemimpin manusia pada zamannya, selanjutnya Ibnu Abbas adalah pemimpin manusia pada zamannya, lalu Asy Sya’bi pada zamannya, kemudian Sufyan Ats Tsauri pada masanya, lalu Yahya bin Adam pada masanya.” (Ibid, 4/302)
Daud bin Abi Hindi berkata:
ما جالست أحدا أعلم من الشعبي.
“Belum pernah aku bermajelis dengan seorang pun yang lebih berilmu dibanding Asy Sya’bi.” (Ibid)
Abu ‘Ashim bin Sulaiman berkata:
ما رأيت أحدا أعلم بحديث أهل الكوفة والبصرة والحجاز والآفاق من الشعبي
“Tidaklah aku melihat seorang pun yang lebih tahu tentang hadits di Kufah, Bashrah, Hijaz dan berbagai penjuru, dibandingkan Asy Sya’bi.” (Ibid)
Dan masih banyak sanjungan lainnya.
3. Imam Muhammad bin Sirin Radhiallahu ‘Anhu terhadap Ibnu Hubairah
Beliau dikenal sebagai orang yang paling tegas terhadap Ahli bid’ah dan penguasa yang zalim. Dia pun secara terang-terangan menegur penguasa zamannya –yakni Ibnu Hubairah- di depan orang lain. Sebenarnya, Ibnu hubairah adalah salah satu pejabat tinggi dalam pemerintahan Khalifah Marwan.
Berikut ini yang diceritakan Imam Abu Nu’aim Al Ashbahani:
جعفر
بن مرزوق، قال: بعث ابن هبيرة إلى ابن سيرين والحسن والشعبي، قال: فدخلوا
عليه، فقال لابن سيرين: يا أبا بكر ماذا رأيت منذ قربت من بابنا، قال: رأيت
ظلماً فاشياً، قال: فغمزه ابن أخيه بمنكبه فالتفت إليه ابن سيرين، فقال:
إنك لست تسأل إنما أنا أسأل، فأرسل إلى الحسن بأربعة آلاف وإلى ابن سيرين
بثلاثة آلاف، وإلى الشعبي بألفين؛ فأما ابن سيرين فلم يأخذها.
Ja’far bin Marzuq berkata, “Ibnu Hubairah pernah memanggil Ibnu Sirin, Al Hasan (Al Bashri), dan Asy Sya’bi, dia berkata: “Masuklah kalian.” Maka dia bertanya kepada Ibnu Sirin: “Wahai Abu Bakar, apa yang kau lihat sejak kau mendekat pintu istanaku?” Ibnu Sirin menjawab: “Aku melihat kezaliman yang merata.” Perawi berkata: Maka saudaranya menganggukan tengkuknya, dan Ibnu Sirin pun menoleh kepadanya. Lalu dia berkata (kepada Ibnu Hubairah): “Bukan kamu yang seharusnya bertanya, tetapi akulah yang seharusnya bertanya.” Maka, Ibnu Hubairah akhirnya memberikan Al Hasan empat ribu dirham, Ibnu Sirin tiga ribu dirham, dan Asy Sya’bi dua ribu. Ada pun Ibnu Sirin dia mengambil hadiah itu.” (Hilyatul Auliya’, 1/330. Mauqi’ Al Warraq)
Imam Adz Dzahabi mengatakan:
قال هشام: ما رأيت أحدا عند السلطان أصلب من ابن سيرين
“Berkata Hisyam: Aku belum pernah melihat orang yang paling tegas terhadap penguasa dibanding Ibnu Sirin.” (Siyar A’lam An Nubala, 4/615)
Inilah Imam Muhammad bin Sirin Radhiallahu ‘Anhu, dia menegur kezaliman yang ada dalam istana, di depan banyak orang dan ulama. Mereka seperti Al Hasan dan Asy Sya’bi, pun tidak mengingkarinya. Ibnu Sirin tidak mengatakan kepada Ibnu Hubairah: “Aku ingin katakan kepadamu secara rahasia, bahwa kezaliman di istanamu telah merata!” Tidak demikian.
Lagi pula, tahu dari mana Hisyam, kalau Ibnu Sirin adalah manusia paling tegas terhadap penguasa jika dia menegurnya secara sembunyi-sembunyi?
Siapakah Imam Muhammad bin Sirin Radhiallahu ‘Anhu? Pada masanya dia dikenal orang yang sangat wara’, ahli fiqih, ahli tafsir mimpi, dan periang.
Berikut ini parade pujian para ulama untuk Imam Ibnu Sirin Radhiallahu ‘Anhu. Sebagaimana yang dicatat oleh Imam Adz Dzahabi dalam kitab As Siyar-nya:
قال ابن عون: كان محمد يأتي بالحديث على حروفه، وكان الحسن صاحب معنى.
عون بن عمارة: حدثنا هشام، حدثني أصدق من أدركت، محمد بن سيرين.
قال
حبيب بن الشهيد: كنت عند عمرو بن دينار فقال: والله ما رأيت مثل طاووس،
فقال أيوب السختياني وكان جالسا: والله لو رأى محمد بن سيرين لم يقله.
معاذ بن معاذ: سمعت ابن عون يقول: ما رأيت مثل محمد بن سيرين.
وعن خليف بن عقبة، قال: كان ابن سيرين نسيج وحده.
وقال حماد بن زيد، عن عثمان البتي، قال: لم يكن بالبصرة أحد أعلم بالقضاء من ابن سيرين .
وعن شعيب بن الحبحاب، قال: كان الشعبي يقول لنا: عليكم بذلك الاصم يعني ابن سيرين .
وقال ابن يونس: كان ابن سيرين أفطن من الحسن في أشياء
“Berkata Ibnu ‘Aun: “Muhammad bin Sirin meriwayatkan hadits dengan huruf-hurufnya, sementara Al Hasan yang mengetahui maknanya.”
“Aun bin ‘Imarah, bercerita keada kami Hisyam, telah bercerita kepadaku bahwa orang yang paling jujur yang pernah aku temui adalah Muhammad bin Sirin.
Habib bin Asy Syahid berkata: Aku bersama Amr bin Dinar, dia berkata: “Demi Allah aku tidak pernah melihat orang seperti Thawus.” Maka, Ayyub As Sukhtiyani sambil duduk menimpali: “Demi Allah, seandainya dia melihat Muhammad bin Sirin, tidak akan dia berkata seperti itu.”
Muadz bin Muadz berkata, aku mendengar Ibnu ‘Aun berkata: “Aku belum pernah melihat orang semisal Muhammad bin Sirin.”
Dari Khalifah bin ‘Uqbah, dia berkata: “Adalah Ibnu Sirin dia menenun (pakaiannya) sendiri.”
Dari Hammad bin Zaid, dari Utsman Al Bati: “Tidak pernah ada di Bashrah orang yang paling tahu tentang kehakiman (hukum) dibanding Ibnu Sirin.”
Ibnu Yunus berkata: “Ibnu Sirin lebih cerdas dibanding Al Hasan Al Bashri di banyak hal.” (Siyar A’lam An Nubala, 4/608)
4. Sufyan Ats Tsauri Radhiallahu ‘Anhu terhadap Khalifah Al Mahdi
Siapa yang tidak kenal dengan nama ini? Imam Ahlus Sunnah, muara para ulama pada zamannya. Di depan para sahabatnya, dia pun pernah secara terang-terangan menegur dan menasihati Khalifah Al Mahdi yang sedang bersama pengawalnya, bahkan membuatnya marah. Berikut ini ceritanya, sebagaimana diceritakan oleh Imam Abu Nu’aim Al Ashbahani.
Dari ‘Ubaid bin Junad, katanya:
عطاء
بن مسلم، قال: لما استخلف المهدي بعث إلى سفيان، فلما دخل خلع خاتمه فرمى
به إليه، فقال: يا أبا عبد الله هذا خاتمي فاعمل في هذه الأمة بالكتاب
والسنة، فأخذ الخاتم بيده، وقال: تأذن في الكلام يا أمير المؤمنين. قال
عبيد: قلت لعطاء: يا أبا مخلد قال له: يا أمير المؤمنين. قال: نعم، قال:
أتكلم علي أني آمن. قال: نعم، قال: لا تبعث إلي حتى آتيك، ولا تعطني شيئاً
حتى أسألك، قال: فغضب من ذلك وهم به فقال له كاتبه: أليس قد أمنته يا أمير
المؤمنين. قال: بلى، فلما خرج حف به أصحابه، فقالوا: ما منعك يا أبا عبد
الله وقد أمرك أن تعمل في هذه الأمة بالكتاب والسنة؟ قال: فاستصغر عقولهم
ثم خرج هارباً إلى البصرة.
’Atha bin Muslim berkata: “Ketika masa kekhalifahan Al Mahdi, dia berkunjung ke rumah Sufyan. Ketika dia masuk, dia melepaskan dan melemparkan cincinnya kepada Sufyan. Lalu dia berkata: “Wahai Abu Abdillah, inilah cincinku maka berbuatlah terhadap umat ini dengan Al Quran dan As Sunnah.” Maka Sufyan mengambil cincin itu dengan tangannya, lalu berkata: “Izinkan aku berbicara wahai amirul mu’minin.” Berkata ‘Ubaid: Aku berkata kepada ‘Atha bin Muslim: “Hai Abu Makhlad, dia (Sufyan) berkata kepada Al Mahdi: “Wahai Amirul mu’minin?” ‘Atha menjawab: “Ya.”
Sufyan berkata: “Apakah aku akan aman jika aku bicara?” Al Mahdi menjawab: :Ya.” Sufyan berkata: “Jangan kau kunjungi aku hingga akulah yang mendatangimu, dan janganlah memberiku apa-apa sampai aku yang memintanya kepadamu.” ‘Atha berkata: “Maka marahlah Al Mahdi karena itu, dan dia berangan ingin memukulnya karenanya. Maka, berkatalah sekretarisnya kepadanya: “Bukankah kau sudah mengatakan bahwa dia aman wahai Amirul Mu’minin?” Al Mahdi menjawab: “Tentu.” Maka, ketika dia keluar, maka para sahabat Sufyan mengelilinginya dan bertanya: “Apa yang dia larang kepadamu wahai Abu Abdillah, apakah dia memerintahkanmu untuk memperlakukan umat ini dengan Al Quran dan As Sunnah?” Sufyan menjawab: “Remehkanlah akal mereka.” Lalu Sufyan Ats Tsauri melarikan diri ke Bashrah.” (Hilyatul Auliya’, 3/166. Mauqi’ Al Warraq)
Demikianlah Imam Sufyan Ats Tsauri, memberikan teguran yang mendalam, bahkan meminta agar para sahabatnya meremehkan akal/kecerdasan Al Mahdi dan pengikutnya. Dia tidak mengatakan: “Biarkanlah dia, aku akan menasihatinya secara empa mata.” Tidak. Dia langsung menegurnya, walau di depan orang yang bersangkutan dan para pengawalnya. Inilah Imam Ahlus Sunnah.
5. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah
Selain seorang ulama yang agung, beliau juga seorang mujahid. Tidak seperti prasangka sebagian kecil manusia, yang menuduhnya tidak pernah ikut berperang bersama kaum muslimin. Justru beliau adalah bintangnya dan pemimpin mereka.
Berkata Al Alusi tentang Imam Ibnu Taimiyah:
“Adapun keberanian dan jihadnya, maka suatu penjelasan apa pun tidak dapat mencakupnya secara sempurna. Ia sebagaimana yang diceritakan Al Hafizh Sirajuddin Abu Hafsh dalam Manaqib-nya adalah orang yang paling berani dan tegar hati menghadapi musuh. Aku belum pernah melihat manusia yang keberaniannya melebihi Ibnu Taimiyah dan semangat jihad melawan musuh melebihi semangatnya Ibnu Taimiyah. Ia selalu berjihad di dalan Allah dengan hati, lisan, dan tangannya dan tidak takut hinaan orang yang suka menghina dalam membela agama Allah Ta’ala.
Banyak orang menceritakan bahwa Syaikh Ibnu Taimiyah juga sering ikut bersama pasukan Islam dalam peperangan melawan musuh. Apabila ia melihat pasukan yang gelisah dan takut, maka ia memberikan semangat kepadanya, memantapkan hatinya, menjanjikan kemenangan dan ghanimah kepadanya, dan menjelaskan keutamaan jihad dan mujahidin.” (Syaikh Ahmad Farid, 60 Biografi Ulama Salaf, Hal. 796. Pustaka Al Kautsar)
Syaikh Ahmad Farid juga menceritakan keberanian Imam Ibnu Taimiyah di medan tempur:
“Seorang panglima perang mencertakan tentang perang Syaqhab. Ia mengatakan, “Syaikh Ibnu Taimiyah berkata kepadaku ketika dua pasukan sudah terlihat,”Wahai kamu, perlakukanlah aku seolah aku sudah mati.” Lalu aku membawanya (Ibnu Taimiyah) ke depan, sementara musuh-musuh sudah turun bak banjir yang mengalir dengan deras. Peralatan perang mereka terlihat di sela-sela debu yang berterbangan.
Lalu, aku berkata kepadanya: Ini akan mengantarkanmu pada kematian. Batalkan keinginanmu itu!” Ia menengadahkan mukanya ke langit, meluruskan pandangannya, dan menggerakkan kedua bibirnya dalam waktu yang lama kemudian bangkit dan maju ke medan perang. Aku tidak melihatnya lagi sampai Allah memberikan kemenangan pada umat Islam yang berhasil masuk ke kota Damaskus.” (Ibid, Hal. 798-799)
Imam Ibnu Rajab Al Hambali juga meceritakan tentang Imam Ibnu Taimiyah:
قدم
إلى الشام هو وإخوته سنة اثنتي عشرة بنية الجهاد، لما قدم السلطان لكشف
التتر عن الشام. فخرج مع الجيش، وفارقهم من عسقلان، وزار البيت المقدس.
“Beliau bersama saudaranya, dua belas tahun, datang ke Syam dengan niat berjihad, ketika datangnya sultan untuk mengusir Tartar dari Syam. Ibnu Taimiyah keluar bersama pasukan, dan berpisah dengan mereka dari Asqalan, dan berziarah ke Baitul Maqdis.” (Imam Ibnu Rajab, Dzail Thabaqat Al Hanabilah, 1/343. Mauqi’ Al Warraq)
Beliau juga sangat tegas dengan penyimpangan penguasa walau pun penguasa itu muslim. Hal itu dia buktikan dengan nasihatnya yang berani dan secara terbukan kepada Sultan Ibnu Ghazan. Syaikh Ahmad Farid berkata:
“Tatkala Sultan Ibnu Ghazan berkuasa di Damaskus, Raja Al Karaj datang kepadanya dengan membawa harta yang banyak agar Ibnu Ghazan memberikan kesempatakan kepadanya untk menyerang kaum musimin Damaskus.”
(Demikianlah rencana jahat Sultan, ingin bekerja sama dengan raja musuh untuk menyerang kaum muslimin). Lalu Syaikh Ahmad Farid melanjutkan:
“Namun berita ini sampai ke telinga Syaikh Ibnu Taimiyah. Sehingga ia langsung bertindak menyulut api semangat kaum muslimin untuk menentang rencana tersebut dan menjanjikan kepada mereka suatu kemenangan, keamanan, kekayaan, dan rasa takut yang hilang. Lalu bangkitlah para pemuda, orang-orang tua dan para pembesar mereka menuju sultan Ghazan.”
(Inilah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, ia bersama umat Islam lainnya menuju istana Sultan untuk menentang kebijakan dan rencana jahatnya bersama Raja Al Karaj untuk menyerang kaum muslimin Damaskus. Inilah yang orang sekarang bilang demonstrasi. Imam Ibnu Taimiyah tidak mengatakan: “Aku akan nasihati Sultan Ghazan secara empat mata.” Justru ia melakukannya bersama umat Islam secara terang-terangan. Apa yang akan dikatakan dan dilakukan oleh Imam Ibnu Taimiyah, jika saat ini dia melihat ada sebuah negara muslim yang meminta pertolongan Amerika Serikat untuk menyerang kaum muslimin Iraq? Atau mengizinkan tentara kafir membuka pangkalan militer di negeri muslim agar mereka mudah mengendalikan negeri-negeri muslim? Dahulu ada Sultan Ibnu Ghazan dan Raja Al Karaj yang bermesraan, namun masih ada Imam Ibnu Taimiyah. Saat ini, ada pemimpin negeri muslim bermesraan dengan pemimpin kolonialisme modern, AS, namun, saat ini tidak ada yang seperti Imam Ibnu taimiyah!)
Selanjutnya Syaikh Ahmad Farid mengatakan:
“Tatkala Sultan Ghazan melihat Syaikh Ibnu Taimiyah, Allah menjadikan hati Sultan Ghazan mengalami ketakutan yang hebat terhadapnya sehingga ia meminta Syaikh Ibnu Taimiyah agar mendekat dan duduk bersamanya.
Kesempatan tersebut digunakan Syaikh Ibnu Taimiyah untuk menolak rencananya, yaitu memberikan kesempatan keada Raja Al Karaj yang hina untuk menghabisi umat Islam Damaskus. Ibnu Taimiyah memberitahu Sultan Ibnu Ghazan tentang kehormatan darah mslimin, mengingatkan dan memberi nasihat kepadanya. Maka Ibnu Ghazan menurut nasihat Ibnu Tamiyah tersebut. Dari situ, terselamatkanlah darah-darah umat Islam, terhaga isteri-isteri mereka, dan terjaga budak-budak perempuan mereka.” (Selengkapnya lihat 60 Biografi Ulama Salaf, Hal. 797-798)
5. Imam Izzuddin bin Abdissalam Rahimahullah
Beliau dijuluki Shulthanul ‘Ulama (pemimpinnya para ulama) pada masanya. Dialah ulama yang sangat pemberani terhadap kesewenangan penguasa. Ia menegur pemimpin yang menyimpang langsung di depannya dan dihadapan banyak manusia, bahkan juga di mimbar khutbah Jumat.
Kami akan kutipkan sebuah peristiwa heroik beliau berikut ini:
Syaikh Al Baji (murid Imam Izzudn bin Abdisalam) mengatakan: “Syaikh kami, Izzuddin pergi kepada Sultan Najmuddin Ayyub pada hari ‘Id di Qal’ah (benteng Shalahuddin).
Di sana ia menyaksikan para prajurit yang berbaris di depan Sultan Najmuddin dan dewan kerajaan saat itu. Suasana kerajaan saat itu sangat megah. Sultan Najmuddin keluar kepada mereka dengan memakai perhiasan sebagaimana adat para Sultan di Mesir. Para pejabat saat itu pun sujud mencium tanah di depan sang Sultan.
Melihat peristiwa tersebut Syaikh Izzuddin menoleh kepada Sultan Najmuddin dan berteriak memanggilnya, Wahai Ayyub! Apa hujjahmu di hadapan Allah ketika Dia berkata kepadamu,”Aku telah berikan kerajaan Mesir kepadamu lalu kamu memperbolehkan khamr!” Sultan Najmuddin Ayyub berkata, “Apakah ini terjadi?” Syaikh Izzuddin menjawab, “Ya, di toko seorang perempuan telah dijual minuman khamr dan hal-hal lain yang munkar, sementara kamu bergelimang dalam kenikmatan kerajaan ini.”
Syaikh Izzuddin memanggilnya (sultan) dengan suara sangat keras, sementara itu para prajuritnya membisu dan keheranan. Lalu Sultan Najmuddin Ayyub berkata, :Wahai Tuanku, itu bukan perbuatanku, ini sudah ada sejak zaman ayahku.” Syaikh Izzuddin berkata: “Kamu termasuk golongan orang yang mengatakan:
"Sesungguhnya Kami mendapati bapak-bapak Kami menganut suatu agama,..” (QS. Az Zukhruf (43): 22)
Lalu Sultan Ayyub merencanakan memusnahkan toko tersebut.” (Ibid, 747-748)
Inilah Imam ‘Izzuddin (Al ‘Izz) bin Abdissalam, dengan suara lantang dia mengkritik sultan di depan banyak manusia, dan hal itu efektif sebagai presure (tekanan) agar sultan mau menerima nasihatnya.
Bahkan, lebih berani lagi Imam Izzuddin bin Abdissalam menganggap bahwa para sultan saat itu masih terjerat hukum perbudakan sehingga para sultan adalah milik baitul mal kaum muslimin. Para sultan ini boleh dijual untuk kemaslahatan kaum muslimin. Hingga wakil sultan marah dan berkata: “Bagaimana Syaikh ini memanggil kami dan ingin menjual kami? Sementara kami adalah raja-raja dunia. Demi Allah, aku akan penggal kepalanya!”
Namun yang terjadi ketika wakil sultan datang ke rumah Imam Izzuddin bin Abdissalam, justru pedangnya terjatuh, badannya gemetar karena kewibawaan Imam Izzuudin. Wakil sultan berkata: “Wahai Tuanku, apa yang kau inginkan?” Syaikh Izzuddin menjawab: “Aku memanggil dan menjual kalian.” Wakil sultan bertanya: “Untuk apa kau menjual kami?” Syaikh Izzuddin menjawab: “Demi kemaslahatan umat Islam.” Wakil sultan bertanya lagi: “Siapa yang menerimanya?” Syaikh Izzuddin menjawab: “Akulah yang menerimanya.” Lalu para pejabat pemerintah dipanggil satu persatu dan dijual dengan harga mahal. Hasil penjualan mereka digunakan untuk kemaslahatan umat Islam. Ini adalah peristiwa yang belum pernah terjadi sebelumnya.” (Ibid, Hal. 749-750)
Ada peristiwa yang mirip dengan masa Imam Ibnu Tamiyah. Ibnu As Subki menceritakan tentang penguasa Damaskus bernama Shalih Ismail, panggilannya Abu Al Khaisy. Dia berkolaborasi dengan pasukan Eropa untuk menyerahkan kota Shida dan beneng Asy Syaqif kepada Eropa. Tindaka ini dikecam oleh Syaikh Izzuddin sehingga dia tidak mendoakannya dalam khutbah. Beliau tidak sendiri dalam hal ini. Beliau ditemani oleh Abu Amr bin Al Hajib Al Maliki. Pengecaman tersebut telah membaut sultan marah. (Ibid, Hal. 750)
Inilah Al Imam Al ‘Izz bin Abdissalam, salah satu Imam Ahlus Sunnah bermadzhab syafi’i. Imam Ad Dzahabi menyebutnya sebagai seorang yang sudah taraf mujtahid, dan Imam As Suyuhi juga menyebukan di akhir hayatnya dia tidak lagi terika madzhab, sudah berfatwa dengan fatwanya sendiri.
Demikianlah. Sebenarnya masih banyak contoh lain dari para ulama. Namun, nampaknya ini sudah cukup menggambarkan bahwa menasihati penguasa secara terbuka, bukanlah hal yang tercela dan bukan pula barang baru. Justru ini adalah perbuatan mulia yang membutuhkan keberanian sebagaimana Imam Ibnu Taimiyah dan Imam Izzuddin bin Abdissalam.
Menasihati pemimpin, baik secara sembunyi atau terbuka, tidaklah kita melihat dari sisi benar-salah. Melainkan dari sisi mana di antara keduanya yang lebih tepat guna dan efektif dalam merubah penyimpangan penguasa. Tentu hal ini perlu kejelian dan analisa. Bisa jadi ada penguasa yang hanya bisa berubah dengan tekanan dari rakyatnya, ada juga yang sudah bisa berubah walau di nasihati oleh orang terdekatnya secara rahasia. Oleh karena itu, ketenangan dan kejelian sangat diperlukan dalam memutuskan masalah ini.
Dan, yang jelas tak satu pun para ulama Islam mengatakan, bahwa menasihati pemimpin secara terbuka adalah bentuk pemberontakan bahkan khawarij. Ini adalah pengertian yang amat jauh. Tidak pantas menyamakan pemberontakan dengan nasihat. Sebab yang satu berdosa, dan yang lain berpahala dan mulia. Tak pantas pla hal itu disamakan dengan keluarnya kaum khawarij terhadap pemerintahan Ali. Sebab, yang kita bahas adalah tentang penguasa atau pemimpin yang zalim, bukan pemimpin yang adil seperti Ali bin Abi Thalib Radhiallahu ‘Anhu. Wallahu'alam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar