Termenungku
di bangku pinggiran pantai, sambil menatap indahnya langit senja itu dan
kicauan burung-burung kecil yang semakin menambah indah karunia-Nya. Burung
kecil itu berbicara : “Bagiku, waktu pernah mematahkan sayapku, kemudian waktu
pula yang menyembuhkannya dan mengajari aku untuk tidak menyerah, tetap
bertahan melayang di udara. Hingga Allah SWT yang menentukan kematian ku.”
“Astagfirullahal’adzim. Ya Allah, apa
yang sedang aku fikirkan?! Hingga aku merasa burung kecil yang melayang di
udara itu bicara pada ku?!” Tersentakku dari lamunan panjang dan mencoba
mengambil sesuatu yang ada dalam ranselku.Masih sangat jelas teringat dalam
benakku, wajah kecil dengan senyuman polos dari foto itu. Yah, itu aku. Foto ku
yang sedang duduk dibangku kelas 5 SD. Foto pada saat aku menang perlombaan melukis
antar Sekolah Dasar se-Provinsi Bengkulu, aku sangat senang karena dapat
membahagiakan orangtua, guru, serta membanggakan sekolahkudengan piala yang aku
pegang dalam foto itu.Sejak saat itu, aku bingung untuk menentukan cita-cita ku
karena sedari kecil aku ditanya oleh orang-orang, aku jawabnya “Pengen jadi
artis.”. Dengan balasan sebuah senyuman, yah mungkin orang hanya berfikir
“ah,masih anak kecil, nanti cita-citanya pasti juga akan berubah lagi.”
***
Melirik
lagi. Dengan tertawa kecil aku mengingatnya. Yah, memang benar perkataan orang
itu, cita-cita ku banyak sekali, mungkin tak terhitung kalau aku mau
menghitungnya dari sejak aku kecil hingga saat ini. Jadi artis, polwan, dokter,
bidan, penyanyi, penari, tentunya setelah mendapat juara lomba melukis, aku
tambahkan daftar impianku, menjadi seorang pelukis. Ou,ou, ternyata tak cukup
sampai disitu, seiring dengan berjalannya waktu aku terus menambah daftar
mimpiku.Oh ya, kalau kata Bu guru,mungkin cita-cita itu juga bisa ditentukan
lewat mata pelajaran apa yang kalian paling suka dan paling tinggi nilainya.
“MATEMATIKA” spontan aku menjawabnya,,iya matematika.. i love it, i love it, i love it, i love matematic. Entah kenapa
setiap mendengar kata Matematika itu, hatiku langsung berbunga-bunga,serasa
sedang berada dilautan angka dan bermain dengannya. Wawh,,pokoknya matematika
itu sesuatu banget lah,, is the best in
my heart.. “Eh, aku bisa PeDe(Percaya Diri) ngomong gitu, karena emang udah
kebukti dari semua nilai matematika ku sedari Taman Kanak-kanak (TK) hingga sekarang,
nilai matematika ku tidak pernah tertera angka tujuh apalagi kebawahnya, nggak
pernah bangetts.. Hehhe.. Tapi, lalu, apa cita-cita yang berhubungan dengan
matematika ini?! “Oh, Pegawai bank, kantoran, terus apa lagi ya?! Mentok ah,
itu doank,, “pokoknya pekerjaan yang bikin kepala pusing pastinya” sahut teman
sekelas ku saat itu. Adduh, peduli amat dah apa kata orang, yang jelas aku suka
matematika. So what gitu lho...
Tetttthhh,,,
bel pun berbunyi, untuk siswa-siswi kelas VI tanda istirahat telah berakhir dan
masuk ke kelas kembali, maklumlah bentar lagi UN(Ujian Nasional) jadi jadwal
istirahatpun dipercepat,huffth... “Eh, pelajaran apa?” tanyaku kepada teman
sebangku ku. “Ya Allah, pelupa banget sich ririn nih, Bahasa Indonesia noh
(sambil melihat Ibu Guru Bahasa Indonesia dari jendela yang sedang berjalan
menuju ke kelas), pelajaran yang kamu paling suka, kok sampai lupa.“Ha? Suka
apaan? Pelajaran yang aku suka tuh Matematika bukan Bahasa Indonesia...” bentakku.
“Lho emang bener kok, di dalam kelas ini kamu tuh yang paling bersemangat banget
kalau ibu guru menjelaskan pelajaran tentang puisi, dan saat dikasih tugas
membuat puisi pun, puisi kamu yang paling bagus, malah ibu guru suruh puisi mu
itu dibuat bingkainya, agar dapat dipajang di kelas. Dan bahkan ibu guru
mengamanatkan kamu untuk membuat puisi perpisahan, untuk dibacakan sewaktu
perpisahan SD nanti. Apa coba itu semua? Kalau bukan kamu suka pelajaran Bahasa
Indonesia, selain Matematika...” temanku balas membentakku.“Eits,santai..maaf,maaf,
iya ya, kok ririn bisa lupa ya.” Hehhehe...Mendengar panjang lebar penjelasan
temanku, membuatku bingung. Nilai Bahasa Indonesia ku jelek, rendah lah
pokoknya diraport, bahkan susah banget untuk meraih nilai 9, yang banyaknya nilai
6 sama 7,, ah,masa ia aku suka Bahasa Indonesia?! Masih mendingan juga nilai
Bahasa Inggris ku.Adduh, makin bingung...tapi, dari hati yang paling dalam,
jujur aku memang menyukai puisi, bahkan tanpa aku sadari seringkali jari-jari
tanganku menari dengan sendirinya, hingga melahirkan kata-kata indah dari hati,
disetiap apapun keadaanku pena adalah sahabatku, dan kalau sehari saja tak
membaca, bisa pusing kepalaku. Karena inspirasi akan kita temukan salah satunya
dengan membaca.Tapi,,emmh... yah tak apalah, toh tinggal nambahin aja kedaftar
mimpiku satu lagi “Aku ingin menjadi penulis puisi yang handal, bila perlu
puisi yang dapat dibaca oleh semua orang di Dunia”. Wawh,,gak tanggung-tanggung
punya mimpi... Hehhe... Tak lama kemudian, bel tanda pulang pun berbunyi.
Dengan semangat aku langsung berusaha untuk bisa merealisasikan
mimpi-mimpiku...
***
Tik,,tik,,tik...
Tak terasa rintik hujan telah membasahi foto yang aku pegang... “Ya Allah,
hujan...”. Segera aku berpindah, berteduh dibawah pohon, tetapi indahnya ombak
masih tetap kelihatan di hadapanku dan terbelalak mataku menyaksikan langit
yang menangis,aku mendapati seekor burung. “Ya Allah, dalam
hidup, tak ada jaminan buat terus bahagia, tidak
ada kepastian buat apapun. Seperti burung senja itu yang bisa mendadak melayang
jatuh “
Tak sadar, pipi ini basah. Ah, pasti air
hujan. Bukan, ini bukan air hujan. Ini adalah air mataku. Aku menangis. Sambil
kembali menatap foto yang sedari tadi terus aku pegang. Dan saat ini fikiranku
melayang pada saat aku Sekolah Menengah Atas(SMA) yang mana pada saat itu
adalah masa yang labil bagi remaja-remaja seusiaku. Kembali aku merajut
mimpiku, masih tercoret rapi dibuku harianku mengenai cita-citaku dari kecil
hingga saat ini.
***
***
“Sekarang tibalah saatnya bagi Ibu untuk
membacakan nama-nama yang juara dikelas kita.” Kata Ibu Guru. Pada saat itu, adalah
awal atau pembagian rapot yang pertama kalinya yakni, kelas X SMA. Terus ku
menunggu, berharap namaku tersebut oleh Bu Guru. Juara 1, juara 2, juara 3,
bukan aku. Aku tak mendapatkan tiga besar, dan hal itu sangat membuatku sedih
karena rasanya aku telah belajar semaksimal mungkin untuk itu. Tak berhenti
bibir Bu Guru bergerak dan terus membacakan nama-nama yang juara. Juara 4,
ternyata juga bukan aku. “wadduh,,ririnnggak dapat juara ni ceritanya.” Bicaraku
kecil sambil merapikan kerudungku yang makin lama semakin kusut, yang ikut
gemetaran seperti pemakainya. “Juara 5,jatuh kepada RIRIN IRYA”. Tanpa ba bi
bu, aku langsung kedepan kelas. “Ternyata kerja kerasku hanya sebatas juara 5.”
Kataku dalam hati, “Ah, tapi aku tetap harus bersyukur. Alhamdulillah,
trimakasih Ya Allah. Dan aku akan belajar lebih giat lagi.”. Aku pun segera
melihat hasil nilai-nilai yang tertera pada raport ku, teman-teman yang lain
pun juga sibuk saling melihat-lihat nilai raport yang satu dengan yang lainnya.
“Wawh, keren rin. Di kelas ini, nilai matematikamu yang paling tinggi, nilai ku
pun kalah dengan nilaimu.” Kata temanku yang juara satu, dengan nada yang agak
kaget gitu. “Iya.” Jawab ku singkat, dan aku tidak terlalu kaget karena memang
aku tidak meragukan lagi nilai matematikaku, yang sedari Taman Kanak-kanak(TK),
Sekolah Dasar(SD), Sekolah Menengah Pertama(SMP), hingga saat ini. Karena
memang itu adalah pelajaran favoritku. Yang aku kagetkan itu, kenapa aku tidak
bisa memasuki Tiga Besar Juara di kelas ini, padahal sewaktu di SMP dulu, Tiga
tahun berturut-turut, aku adalah Juara Umum disana. Tetapi kenapa di SMA ini?!,,
“Ah,sudahlah mungkin memang mereka lebih pintar dariku. Eh,,tapi.. Di dunia
ini, manusia gak bisa dibedakan dengan pintar dan bodohnya. Manusia itu dapat
dibedakan dengan rajin dan malasnya. Dan mungkin, aku kurang rajin.” Kataku
yang sedang berusaha menghibur diri. Selalu ada harapan bagi mereka yang
berdo'a dan selalu ada jalan bagi mereka yang berusaha. Semangat Ririn !!.
Semuanya belum berhenti sampai disini. Masih banyak mimpi-mimpi yang harus diwujudkan.
Hingga tibalah pada saat aku menjelang
tamat SMA. Aku mulai perfikir matang, untuk masa depan ku. Aku akan melanjutkan
sekolah kemana? Akankah aku lanjutkan kuliah yang sesuai dengan mimpiku? Yang
sesuai dengan keinginanku?, dan jawabannya adalah “IYA”. Ku baca ulang semua
daftar mimpi-mimpi yang telah kutulis dibuku harianku. “Aku
ingin jadi artis, polwan, dokter, bidan, penyanyi, penari, pelukis,profesor,
pegawai kantoran, pegawai bank, hingga penulis puisi yang handal.” Di tengah
kebingunganku akan hal itu, akupun mengikuti berbagai macam test, TestSeleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri(SNMPTN) yang aku
inginkan, Test Kedokteran, Test Pegawai Bank, dan lain-lain. Hampir
semua yang berhubungan dengan mimpi-mimpiku, aku mengikuti berbagai macam test itu.
***
Hari
semakin senja, suasana di pinggiran pantaipun semakin sepi. Tapi tetap saja tak
terlintas sedikitpun di benakku fikiran untuk pulang. Ku angkat kepalaku dari
foto itu untuk beralih pemandangan dengan melihat keatas langit. Rupanya hujan
sudah agak meredah, namun redahnya hujan, tak ikut meredahkan hatiku. Aku
berdiri, kemudian berlari sekencang mungkin ke tepi pantai, untuk berteriak
sekencang-kencangnya dan menangis sejadi-jadinya. “Ya Allah, hamba tahu mendung
diciptakan bukan untuk membuat langit gelap, tapi ia hadir membawa kabar
gembira turunnya hujan. Tapi kenapa rintik hujan itu sangat sakit?”.
***
Di
berbagai test yang aku ikuti, semua test itu, aku dapati hasil “NIHIL” , aku
tidak lulus di satupun test itu. Aku
merasa semuanya tiada berguna, aku merasa Allah tak adil padaku. Kalau begini
jadinya, apalagi mimpi yang mau aku wujudkan? Apa lagi yang harus aku lakukan?“Dalam hidup. Siapa saja bisa terlempar keluar dari kotak
rasa nyamannya secara tiba-tiba. Kita memang hidup dalam sekat-sekat,
pengotakkan, pelebelan. Dan saat lebel kita
dicabut oleh Allah SWT, maka kita bukan siapa-siapa lagi.”Dua hari terbaring di
Rumah Sakit, dan aku rasa itu sudah cukup. Ku ambil, ku pegang, ku usap, ku
cium, ku baca dengan nada yang lirih. Hingga terpaku ku pada surat yang sedang
ku baca “Janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah (pula)
kamu bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi
(derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman.” (Ali ‘Imran: 139)
Kali ini,
aku sanggupkan diri tuk menyelipkan seulas senyuman dibalik kesedihanku, tuk mengganti
air mata dengan tawa ria. “Jangan pernah merasa terhimpit sejengkal pun, karena setiap keadaan
pasti berubah. Dan sebaik-baik ibadah adalah menanti kemudahan dengan sabar.
Sesungguhnya, setelah kesulitan itu tetap akan muncul kemudahan”
Disaat semua teman-teman SMA seperjuanganku telah
legah, telah aman, telah santai karena mereka semua telah mendapatkan tempat
kuliah yang mereka inginkan. Sementara aku, hanya berkutat dengan Al-Qur’an.
Terdiam, menyendiri, dan ditemani oleh Al-Qur’an. Aku tak sanggup menjawab
pertanyaan dari orang-orang. “Melanjut sekolah kemana rin?”, aku hanya diam. Di
saat seperti ini, orangtua lah yang sangat berperan penting bagiku. Disaat
semua orang menyodorkan banyak pertanyaan yang membuat dadaku kian sesak,
disaat semua yang aku inginkan tiada terwujud. Hanya orangtua ku yang paling
mengerti aku, walau aku tahu sebenarnya mereka juga pusing memikirkanku. “Rin,
lanjut ke sekolah agama saja ya nak ya?” kata Ibuku dengan nada suara yang
gemetar, takut aku menolaknya. “karena cuma disana sekolah negeri yang masih
buka pendaftarannya.” Lanjut Ibuku. “Apa? Kuliah Agama Bu?” Lama kami saling
terdiam, dan tak ada yang berani untuk angkat bicara terlebih dulu. “Baiklah
Bu.”,“Aku pasrahkan semuanya kepada Allah SWT. Dan aku yakin, bahwa Allah
tidaklah selalu memberikan apa yang kita inginkan, tetapi Allah pasti lah
selalu memberikan apa yang kita butuhkan. Jikalau memang melanjutkkan ke tempat
kuliah Agama ini merupakan kebutuhan bagiku. Maka aku akan ikhlas menerimanya.”
“Ya Allah, aku telah tercebur ke
dalam lautan asing, yang tidak aku sangkakan sebelumnya. Dan sekarang aku telah
berada dilautan itu, jikalau aku tak pandai berenang maka aku akan tenggelam.” Ya
Allah, Tolong bantu aku, bantu hamba-Mu yang lemah ini untuk mengenal Islam
secara utuh dan lebih dalam lagi. Aku pun memulai untuk memiliki cita-cita
kembali. Dan kini, Subhanallah, sungguh
karunia Allah amat dekat kepada hamba yang mau mendekat kepada-Nya. Aku telah
menjadi seorang Guru Ngaji yang penghasilannya bahkan lebih dari cukup, aku
juga telah menjadi pemenang dari lomba Da’iah (Ceramah Agama) se-Sumatera dan
akupun mulai memiliki tujuan hidup untuk membantu Agama Allah SWT dengan
berdakwah lewat seni, aku bisa menyuarakan Islam dan menasehati antar sesama
melalui puisi, serta kemampuanku dibidang karya sastra lainnya. “Tolonglah
Agama Allah, maka Allah akan menolong dan meneguhkan kedudukan mu.”
Sekarang, hanya satu titik fokus
cita-cita yang ingin ku tuju yaitu Allah, yang akan menjadi satu titik acuan
hidupku yaitu Rasulullah. Dan Semoga Engkau meridhoi cita-citaku yang satu ini
Ya Allah, “AKU INGIN HAFAL 30 JUZ AL-QUR’AN SEBELUM KEMATIANKU”.Amiin Ya Robbal
‘alamin.
~End~
Tidak ada komentar:
Posting Komentar