bintang

Rabu, 13 Januari 2016

HADIS TENTANG NIKAH MUT’AH

Sehubungan dengan tugas penelitian hadits tentang nikah mut'ah dan metode dalam memahami hadits yang diberikan oleh Dosen. Maka saya ingin berbagi pengetahuan tentang hal ini kepada sahabat blog Ri-Sakhi.



Hadis yang diteliti :
حَدَّثَنَا عَلِيٌّ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ قَالَ عَمْرٌو عَنْ الْحَسَنِ بْنِ مُحَمَّدٍ عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ وَسَلَمَةَ بْنِ الْأَكْوَعِ قَالَا كُنَّا فِي جَيْشٍ فَأَتَانَا رَسُولُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ إِنَّهُ قَدْ أُذِنَ لَكُمْ أَنْ تَسْتَمْتِعُوا فَاسْتَمْتِعُو - البخارى

Telah menceritakan kepada kami Ali Telah menceritakan kepada kami Sufyan Telah berkata Amru dari Al Hasan bin Muhammad dari Jabir bin Abdullah dan Salamah bin Al Akwa' keduanya berkata; Ketika kami berada dalam suatu pasukan perang, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam mendatangi kami dan bersabda: "Sesungguhnya telah dizinkan bagi kalian untuk melakukan nikah Mut'ah, karena itu lakukanlah."

Hadis-hadis yang berkaitan dengan kawin mut’ah adalah sebagai berikut:
Takhrij hadis melalui metode tema (menggunakan kitab miftah al-Kunuz as-Sunnah) dari kata “Nikah” dan lebih merujuk kepada tema mengenai “Nikah Mut’ah” sehingga ditemukan hasil data-data sebagai berikut:
الترخيص بنكاح المتعة
بخ – ك 67 ب 31
مس – ك 16 ح 13-15 و 18-21
نس – ك 26 ب 71
مج – ك 9 ب 44
مي – ك 11 ب 16
ح – اول ص 420 و 432، ثالث ص 325 و 356 و 363 و 381، رابع ص 47 و 51
ط – ح 1637 و 1792
النهى عن نكاح المتعة
بخ – ك 64 ب 38، ك 67 ب 31، ك 72 ب 28، ك 90 ب 4
مس – ك 16 ح 21- 32
بد – ك 12 ب 13
تر – ك 9 ب 29
نس – ك 26 ب 71، ك 42 ب 31
مج – ك 9 ب 44
مي – ك 11 ب 16
ما – ك 28 ح 41
تر – ك 23 ب 6
عد – ك 4 ق 2 ص 68
ز – ح 718
حم – اوال ص 79 و 103و 142، ثان ص 95 و 103، ثالث ص 404و405، رابع ص 55
ط – ح 111

Berikut ini hadits yang diteliti beserta dua hadits yang relevan :
  1. حدثنا علي، حدثنا سفيان، قال عمرو، عن الحسن بن محمد، عن جابر بن
عبد الله، وسلمة بن الأكوع، قالا: كنا في جيش، فأتانا رسول رسول الله صلى الله عليه وسلم فقال: «إنه قد أذن لكم أن تستمتعوا فاستمتعوا»
“Telah menceritakan kepada kami Ali Telah menceritakan kepada kami Sufyan Telah berkata Amru dari Al Hasan bin Muhammad dari Jabir bin Abdullah dan Salamah bin Al Akwa’ keduanya berkata; Ketika kami berada dalam suatu pasukan perang, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mendatangi kami dan bersabda: “Sesungguhnya telah dizinkan bagi kalian untuk melakukan nikah Mut’ah, karena itu lakukanlah.”
  1. حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا يُونُسُ بْنُ مُحَمَّدٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْوَاحِدِ بْنُ زِيَادٍ حَدَّثَنَا أَبُو عُمَيْسٍ عَنْ إِيَاسِ بْنِ سَلَمَةَ عَنْ أَبِيهِ قَالَ رَخَّصَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَامَ أَوْطَاسٍ فِي الْمُتْعَةِ ثَلَاثًا ثُمَّ نَهَى عَنْهَا
“Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr bin Abu Syaibah telah menceritakan kepada kami Yunus bin Muhammad telah menceritakan kepada kami Abdul Wahid bin Ziyad telah menceritakan kepada kami Abu Umais dari Iyas bin Salamah dari bapaknya ia berkata; “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam membolehkan nikah mut’ah pada tahun Authas (tahun penaklukan kota Makkah) selama tiga hari. Kemudian beliau melarangnya.”
  1. أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ سَلَمَةَ، وَالْحَارِثُ بْنُ مِسْكِينٍ، قِرَاءَةً عَلَيْهِ وَأَنَا أَسْمَعُ وَاللَّفْظُ لَهُ، قَالَ: أَنْبَأَنَا ابْنُ الْقَاسِمِ، عَنْ مَالِكٍ، عَنْ ابْنِ شِهَابٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ، وَالْحَسَنِ، ابْنَيْ مُحَمَّدِ بْنِ عَلِيٍّ، عَنْ أَبِيهِمَا، عَنْ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ: «أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ مُتْعَةِ النِّسَاءِ يَوْمَ خَيْبَرَ، وَعَنْ لُحُومِ الْحُمُرِ الْإِنْسِيَّةِ»
Telah mengabarkan kepada kami Muhammad bin Salamah serta Al Harits bin Miskin dengan membaca riwayat dan saya mendengar, lafazhnya adalah lafazh Al Harits, ia berkata; telah memberitakan kepada kami Ibnu Al Qasim dari Malik dari Ibnu Syihab dari Abdullah dan Al Hasan keduanya anak Muhammad bin Ali, dari ayah mereka dari Ali bin Abi Thalib bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melarang untuk menikahi wanita dengan cara mut’ah pada saat perang Khaibar, dan daging keledai jinak.

 Studi Kritik Sanad
  1. Nama Lengkap : Salamah bin ‘Amru bin Al Akwa’ dia berasal dari kalangan sahabat, dan kuniyah nya Abu Muslim, beliau tinggal di Madinah dan wafat pada Tahun 74 H, salamah bin ‘Amru tergolong orang yang tsiqah.
  2. Nama Lengkap : Iyas bin Salamah bin Al Akwa’ dia berasal dari kalangan Tabi’in kalangan pertengahan kuniyah beliau adalah Abu Salamah, beliau tinggal di Madinah dan wafat pada tahun 119 H, menurut para ulama beliau adalah orang yang tsiqah.
  3. Nama Lengkap : Utbah bin ‘Abdullah bin ‘Utbah bin ‘Abdullah bin Mas’ud beliau berasal dari kalangan tabi’ut Tabi’in dari kalangan tua, kuniyah beliau adalah Abu al-‘Umais, beliau tinggal di Kuffah. Dan menurut para ulama berkomentar bahwa beliau adalah orang yang tsiqah.
  4. Nama Lengkap : Abdul Wahid bin Ziyad beliau berasal dari kalangan Tabi’ut Tabi’in kalangan pertengahan, dan Kuniyah beliau adalah Abu Bisyir, beliau semasa hidupnya tinggal di Bahrah dan wafat pada tahun 176 H, dan menurut para ulama beliau adalah termasuk orang yang
  5. Nama Lengkap : Yunus bin Muhammad bin Muslim, beliau berasal dari kalangan Tabi’ut Tabi’in kalangan biasa, dan kuniyah beliau adalah Abu Muhammad, beliau semasa hidupnya tinggal di Baghdad dan wafat pada tahun 207 H. Menurut para ulama beliau adalah termasuk orang yang
  6. Nama Lengkap : Abdullah bin Muhammad bin Abi Syaibah Ibrahim bin ‘Utsman, beliau berasal dari kalangan Tabi’ul Atba’ kalangan tua, dan kuniyahnya beliau adalah Abu Bakar, beliau semasa hidupnya tinggal di Kufah dan wafat pada tahun 235 H. Menurut para Ulama beliau adalah termasuk orang yang
Dari keenam rawi diatas yang meriwayatkan hadis ini, mereka adalah golongan orang-orang yang tsiqah. Jadi dapat disimpulkan bahwa kualitas hadis ini adalah shahih.
Begitu juga para periwayat lain yang terdapat dalam hadis-hadis yang lain (syawahid dan tawabi’). Semuanya merupakan periwayat yang tingkatannya tsiqah, kredibilitasnya dapat dipertanggungjawabkan. Salah satu keberadaan hadis ini dalam kitab Shahih al-Muslim.

Keterangan mengenai hadis-hadis diatas
Hadis pada nomor satu dan dua dikatakan kebolehan nikah mut’ah (kawin kontrak), yakni nikah yang dalam akad ditetapkan masa berlakunya untuk waktu tertentu. Sedangkan pada hadis nomor tiga menyatakan bahwa nikah mut’ah dilarang. Dengan demikian, secara tekstual, hadis-hadis tersebut tampak bertentangan.
Ulama telah membahas secara mendalam hadis-hadis tentang nikah mut’ah. Ulama Sunni dan Ulama Syi’ah Zaidiyah sependapat bahwa hadis-hadis yang menyatakan kebolehan nikah mut’ah telah mansukh (dihapus hukumnya) oleh hadis-hadis yang melarang nikah mut’ah. Mereka menyatakn bahwa kebolehan itu telah berlangsung lebih dari satu kali, namun lalu diikuti oleh larangan dan petunjuk yang terkahir menyatakan bahwa larangan nikah mut’ah berlaku sampai hari kiamat. Hadis yang menyatakan larangan tersebut, misalnya yang termuat dalam riwayat Sabrah al-Juhani bahwa Rasulullah saw telah bersabda:
ياايها النّاس إنّي قد كنت اذنت لكم في الاستمتاع من النساء و إنّ الله قد حرّم ذلك إلى يوم القيامة فمن كان عنده منهنّ شيئ فليخلّ سبيله ولا تأخذوا ممّا اتيتموهنّ (رواه مسلم و احمد)
Artinya: “Hai manusia, sesungguhnya saya pernah mengizinkan kamu sekalian untuk mengawini wanita secara mut’ah. Dan sesungguhnya Allah telah mengahramkan hal itu (Nikah mut’ah) sampai hari kiamat. Barang siapa yang (saat ini) ada dari kalangan para isterinya yang dikawini secara mut’ah, maka hendaklah dibatalkan akadnya. Janganlah kamu sekalian mengambil kembali apa yang telah kamu berikan kepada mereka (para isteri yang telah kamu kawini secara mut’ah) itu.


Nikah Mut’ah Halal di Kalangan Syi’ah
Menurut syi’ah, mut’ah tidak boleh di lakukan kembali oleh orang yang mengetahui dengan benar. Maksudnya percaya dengan riwayat-riwayat bohong yang mengatas-namakan ucapan ahli bait dan yang mengetahui kebebasan seks. Jika ia percaya pada hal itu, halal baginya nikah mut’ah. Sementara terhadap orang yang tidak mengetahuinya haram.
Nikah mut’ah yang berlaku di kalangan syi’ah ialah dengan batas waktu yang jelas dan dengan imbalan upah yang jelas pula. Ketentuan ini secara otomatis batal setelah masa yang telah ditentukan itu berakhir. Adapun mengenai sighad (akad) nikah mut’ah adalah seperti yang diriwayatkan dari Abban bin Thaghlib, ia berkata : Aku bertanya kepada Abu Abdullah : “Apa yang akan aku katakan kepada perempuan bila aku bersunyi-sunyian dengannya? Ia menjawab : kamu mengatakan : Aku menikahimu secara mut’ah atas dasar Kitabullah dan sunnah Nabi, tidak waris-mewarisi, selama sekian hari dan jika kamu menghendaki, untuk sekian tahun, dengan imbalan sekian dirham. Kamu sebutkan imbalannya menurut yang telah disepakati, sedikit atau banyak. Jika ia mengatakan ya, berarti dia rela dan ia telah menjadi istrimu.
Sedangkan dalam kalangan ulama Syi’ah Dua Belas (itsna ‘Asyarah) membolehkan nikah mut’ah berdasarkan dalil Qur’an, surat al-Nisa’:24 yang berbunyi:
…. فما استمتعتم به منهنّ فأتوهنّ اجورهنّ….
Maka isteri-isteri yang telah kamu nikmati (campuri) diantar mereka, berikanlah maharnya (secara sempurna) sebagai suatu kewajiban
Menurut mereka (kalangan ulama Syi’ah Dua Belas), ayat tersebut merupakan dasar disyariatkannya nikah mut’ah dan tidak pernah terhapus kebolehannya sampai sekarang. Mereka menyatakan bahwa hadis-hadis yang melarang nikah mut’ah tidak dipakai sebagai dalil karena hadis tidak dapat mengahpus hokum al-Qur’an. Ulama Sunni dan syiah  Zaidiyah menyatakan memang memberi petunjuk tentang bahwa ayat tersebut tentang kebolehan nikah mut’ah.
Kemudian kebolehan itu dicabut (tidak berlaku) sehubungan dengan adanya ayat-ayat tentang kewarisan dan larangan zina, disamping karena adanya berbagai petunjuk hadis Nabi yang secara tegas telah mengemukakan larangan.
Dari kutipan beberapa hadis yang tampak bertentangan di atas dapatlah dipahami bahwa sesungguhnya secara kontekstual, pertentangan petunjuk dalam hadis tidak terjadi, karena telah dikatakan oleh dalil-dalil yang meNASAKH tentang kebolehan hadis tentang nikah mut’ah tersebut.

Kesimpulan
Maka telah jelas lah bahwasanya hukum melakukan nikah muth’ah adalah “haram“. Karena dari sejarah nikah muth’ah (asbab al-wurud) sudah jelas. Pertama-tama nikah muth’ah diperbolehkan pada perang penaklukan kota Makah dan perang Khaibar, tapi setelah itu Rasulullah melarang nikah muth’ah atau menasakh rukhshahnya selama-lamanya sampai hari kiamat. Maka dari itu kesimpulannya bahwa nikah muth’ah itu “haram” selama-lamanya.
Nikah muth’ah itu seperti pelacuran atau seks komersial pada saat sekarang ini. Seseorang datang, memesan, dan melakukan hubungan seks, setelah itu membayar, dan pulang. Jadi barang siapa melakukan nikah muth’ah sama juga melakukan perzinaan walaupun dalam keadaan terpaksa.
من استمنع من النساء فزنى
“Barang siapa yang melakukan muth’ah maka ia telah berzina”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar